MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
----
IDEOLOGI, PANCASILA, DAN KONSTITUSI
Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Pendahuluan
Pada
prinsipnya terdapat tiga arti utama dari kata ideologi, yaitu (1)
ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan
(3) ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah. Ideologi dalam
arti yang pertama, yaitu sebagai kesadaran palsu biasanya dipergunakan
oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial. Ideologi adalah teori-teori
yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak
yang mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat sebagai sarana kelas
atau kelompok sosial tertentu yang berkuasa untuk melegitimasikan
kekuasaannya.
Arti kedua adalah ideologi dalam arti netral. Dalam hal
ini ideologi adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap
dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini
terutama ditemukan dalam negara-negara yang menganggap penting adanya
suatu “ideologi negara”. Disebut dalam arti netral karena baik buruknya
tergantung kepada isi ideologi tersebut.
Arti ketiga, ideologi
sebagai keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya digunakan dalam filsafat
dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala pemikiran yang tidak
dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris adalah suatu
ideologi. Segala masalah etis dan moral, asumsi-asumsi normatif, dan
pemikiran-pemikiran metafisis termasuk dalam wilayah ideologi.
Dari
tiga arti kata ideologi tersebut, yang dimaksudkan dalam pembahasan ini
adalah ideologi dalam arti netral, yaitu sebagai sistem berpikir dan
tata nilai dari suatu kelompok. Ideologi dalam arti netral tersebut
ditemukan wujudnya dalam ideologi negara atau ideologi bangsa. Hal ini
sesuai dengan pembahasan Pancasila sebagai ideologi negara Republik
Indonesia.
Tipe-Tipe Ideologi
Terdapat dua tipe ideologi
sebagai ideologi suatu negara. Kedua tipe tersebut adalah ideologi
tertutup dan ideologi terbuka. Ideologi tertutup adalah ajaran atau
pandangan dunia atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan
norma-norma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang
tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu
yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup
tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip
moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat
dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu
ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain.
Salah
satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan
kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga
menentukan hal-hal yang bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup
tidak mengakui hak masing-masing orang untuk memiliki keyakinan dan
pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa
reserve.
Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak
bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit yang harus
dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya pandangan
yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya
dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut
harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu,
yang berarti bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara yang
totaliter.
Contoh paling baik dari ideologi tertutup adalah
Marxisme-Leninisme. Ideologi yang dikembangkan dari pemikiran Karl Marx
yang dilanjutkan oleh Vladimir Ilianov Lenin ini berisi sistem berpikir
mulai dari tataran nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan hingga
praktis operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Ideologi Marxisme-Leninisme meliputi ajaran dan paham tentang
(a) hakikat realitas alam berupa ajaran materialisme dialektis dan
ateisme; (b) ajaran makna sejarah sebagai materialisme historis; (c)
norma-norma rigid bagaimana masyarakat harus ditata, bahkan tentang
bagaimana individu harus hidup; dan (d) legitimasi monopoli kekuasaan
oleh sekelompok orang atas nama kaum proletar.
Tipe kedua adalah
ideologi terbuka. Ideologi terbuka hanya berisi orientasi dasar,
sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma
sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai
dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita
yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan harus
disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka
bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi
kekuasaan sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada
dalam sistem yang demokratis.
Perkembangan Ideologi Dunia
Istilah
ideologi negara mulai banyak digunakan bersamaan dengan perkembangan
pemikiran Karl Marx yang dijadikan sebagai ideologi beberapa negara pada
abad ke-18. Namun sesungguhnya konsepsi ideologi sebagai cara pandang
atau sistem berpikir suatu bangsa berdasarkan nilai dan prinsip dasar
tertentu telah ada sebelum kelahiran Marx sendiri. Bahkan awal dan inti
dari ajaran Marx adalah kritik dan gugatan terhadap sistem dan struktur
sosial yang eksploitatif berdasarkan ideologi kapitalis.
Pemikiran
Karl Marx kemudian dikembangkan oleh Engels dan Lenin kemudian disebut
sebagai ideologi sosialisme-komunisme. Sosialisme lebih pada sistem
ekonomi yang mengutamakan kolektivisme dengan titik ekstrem menghapuskan
hak milik pribadi, sedangkan komunisme menunjuk pada sistem politik
yang juga mengutamakan hak-hak komunal, bukan hak-hak sipil dan politik
individu. Ideologi tersebut berhadapan dengan ideologi
liberalisme-kapitalis yang menekankan pada individualisme baik dari sisi
politik maupun ekonomi.
Kedua ideologi besar tersebut menjadi
ideologi utama negara-negara dunia pasca perang dunia kedua hingga
berakhirnya era perang dingin. Walaupun demikian baik komunisme maupun
kapitalisme memiliki warna yang berbeda-beda dalam penerapannya di tiap
wilayah. Ideologi selalu menyesuaikan dengan medan pengalaman dari suatu
bangsa dan masyarakat. Komunisme Uni Soviet berbeda dengan komunisme di
Yugoslavia, Cina, Korea Utara, dan beberapa negara Amerika Latin.
Demikian pula dengan kapitalisme yang memiliki perbedaan antara yang
berkembang di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Asia.
Walaupun
negara-negara yang menganut kedua besaran ideologi tersebut saling
berhadap-hadapan, namun proses penyesuaian diantara kedua ideologi
tersebut tidak dapat dihindarkan. Kapitalisme, dalam perkembangannya
banyak menyerap unsur-unsur dari sosialisme. Setelah mengalami krisis
besar pada tahun 1920-an (the great depression) Amerika Serikat banyak
mengadopsi kebijakan-kebijakan intervensi negara di bidang ekonomi untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan-kebijakan tersebut
kemudian berkembang menjadi konsep negara tersendiri, bahkan ada yang
menyebutnya sebagai ideologi, yaitu negara kesejahteraan (welfare
state) yang berbeda dengan ideologi kapitalisme klasik.
Di sisi lain,
beberapa negara komunis yang semula sangat tertutup lambat-laun membuka
diri, terutama dalam bentuk pengakuan terhadap hak-hak sipil dan
politik. Proses demokratisasi terjadi secara bertahap hingga keruntuhan
negara-negara komunis yang ditandai dengan tercerai-berainya Uni Soviet
dan Yugoslavia pada dekade 1990-an.
Ada yang menafsirkan bahwa
keruntuhan Uni Soviet dan Yugoslavia sebagai pilar utama adalah tanda
kekalahan komunisme berhadapan dengan kapitalisme. Bahkan Fukuyama
pernah mendalilkan hal ini sebagai berakhirnya sejarah yang selama ini
merupakan panggung pertentangan antara kedua ideologi besar tersebut.
Namun kesimpulan tersebut tampaknya terlalu premature. Keruntuhan
komunisme, tidak dapat dikatakatan sebagai kemenangan kapitalisme karena
dua alasan, yaitu (a) ide-ide komunisme, dan juga kapitalisme tidak
pernah mati; dan (b) ideologi kapitalisme yang ada sekarang telah
menyerap unsur-unsur sosialisme dan komunisme.
Ide-ide komunisme
tetap hidup, dan memang perlu dipelajari sebagai sarana mengkritisi
sistem sosial dan kebijakan yang berkembang. Ide-ide tersebut juga dapat
hidup kembali menjadi suatu gerakan jika kapitalisme yang saat ini
mulai kembali ke arah libertarian berada di titik ekstrim sehingga
menimbulkan krisis sosial. Demikian pula halnya dengan gerakan-gerakan
demokratisasi dan perjuangan atas hak-hak individu akan muncul pada
sistem yang terlalu menonjolkan komunalisme.
Ideologi dan Konstitusi: Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
Menurut
Brian Thompson, secara sederhana pertanya¬an: what is a constitution
dapat dijawab bahwa “…a consti¬tution is a document which contains the
rules for the the operation of an organization” . Organisasi dimaksud
bera¬gam bentuk dan kompleksitas struktur¬nya. Negara sebagai salah satu
bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut
sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan Israel
saja yang sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis
yang disebut Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar di kedua negara
ini tidak pernah dibuat, tetapi tum¬buh menjadi konstitusi dalam
pengalaman praktek ketatanegaraan. Namun para ahli tetap dapat menyebut
adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris.
Berlakunya
suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang meng¬ikat didasarkan atas
kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu
negara. Jika negara itu menganut paham kedau¬latan rakyat, maka sumber
legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham
kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu
konstitusi. Hal inilah yang dise¬but oleh para ahli sebagai constituent
power yang merupakan kewe¬nangan yang berada di luar dan sekaligus di
atas sistem yang diatur¬nya. Karena itu, di lingkungan negara-negara
demo¬krasi, rak¬yatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu
konstitusi.
Constituent power menda¬hului konstitusi, dan konstitusi
mendahului organ pe¬me¬rin¬tahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan
konstitusi. Pengertian constituent power berkaitan pula dengan
pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum
yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental
sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau
landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan
perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku
universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di
bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan,
peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih
tinggi tersebut.
Konstitusi selalu terkait dengan paham
konstitusionalisme. Walton H. Hamilton menyatakan “Consti¬tutionalism is
the name given to the trust which men repose in the power of words
eng¬rossed on parchment to keep a government in order” . Untuk tujuan to
keep a government in order itu diperlukan pengaturan yang sede¬mikian
rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses peme¬rintahan dapat
dibatasi dan dikendalikan seba¬gai¬mana mestinya. Gagasan mengatur dan
membatasi kekua¬saan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan
untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam
kehidupan umat manusia.
Konstitusionalisme di zaman sekarang
dianggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern.
Seper¬ti dikemukakan oleh C.J. Friedrich sebagaimana dikutip di atas,
“constitutionalism is an insti¬tutionalized system of effective,
regularized restraints upon governmental action”. Basis pokoknya adalah
kesepa¬katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo¬ritas
rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara.
Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar
kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui
pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata
kunci¬nya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepa¬katan
umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi ke¬kua¬saan negara yang
bersangkutan, dan pada gi¬lir¬annya perang saudara (civil war) atau
revolusi dapat terjadi. Hal ini misal¬nya, ter¬cermin dalam tiga
peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang
terjadi di Perancis tahun 1789, di Ame¬rika pada tahun 1776, dan di
Rusia pada tahun 1917, ataupun peristiwa besar di In¬do¬nesia pada tahun
1945, 1965 dan 1998.
Konsensus yang menjamin tegaknya
konstitusionalis¬me di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada
tiga elemen kese¬pakatan (consensus), yaitu :
1. Kesepakatan
tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or
general acceptance of the same philosophy of government).
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government).
3.
Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose¬dur-prosedur
ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).
Kesepakatan
(consensus) pertama, yaitu berkenaan de¬ngan cita-cita bersama sangat
menentukan tegaknya konsti¬tusi dan konsti¬tusionalisme di suatu negara.
Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling
mung¬kin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama
warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah
pluralisme atau kema¬jemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk
menjamin ke¬ber¬samaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan
pe¬rumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa ju¬ga
disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang
berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau
kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam kon¬teks
kehidupan bernegara.
Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang
dimaksudkan itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti
lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu¬judkan empat
tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Panca¬sila itu mencakup sila atau
prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai
sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau
cita-cita ideal berne¬gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan
kesejah¬teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde¬kaan, perdamaian yang
abadi, dan keadilan sosial.
Kesepakatan kedua adalah kesepakatan
bahwa basis peme¬rin¬tahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi.
Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam
setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak
dilakukan dalam konteks pe¬nyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas
rule of the game yang ditentukan bersama. Istilah yang biasa diguna¬kan
untuk itu adalah the rule of law yang dipelo¬pori oleh A.V. Dicey,
seorang sarjana Inggris kenamaan. Bahkan di Amerika Serikat istilah ini
dikembangkan menjadi jargon, yaitu The Rule of Law, and not of Man untuk
menggam¬barkan pe¬ngertian bah¬wa hukumlah yang sesungguhnya memerintah
atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang.
Istilah
The Rule of Law jelas berbeda dari istilah The Rule by Law. Dalam
istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digam¬barkan hanya sekedar
bersifat instru¬mentalis atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada
di tangan orang atau manusia, yaitu The Rule of Man by Law. Dalam
pengertian demikian, hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem
yang di puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang tidak
lain adalah konstitusi, baik dalam arti naskah tertulis ataupun dalam
arti tidak tertulis. Dari sinilah kita mengenal adanya istilah
consti¬tutional state yang merupakan salah satu ciri penting negara
demokrasi modern. Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat
penting se¬hingga konstitusi sendiri dapat dija¬dikan pegangan tertinggi
dalam memutuskan sega¬la sesuatu yang harus didasarkan atas hukum.
Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena
ia akan sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati, hanya
bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan
sebagaimana mestinya.
Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan (a)
ba¬ngunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya;
(b) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain; serta (c)
hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan
adanya kesepa¬kat¬an itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah
dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama ber¬ke¬naan
dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ke¬tatanegaraan yang hendak
dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi
(constitutional state). Kese¬pakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan
dalam doku¬men konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama
untuk kurun waktu yang cukup lama. Para peran¬cang dan perumus
konstitusi tidak seharus¬nya membayang¬kan, bahkan naskah konstitusi itu
akan sering diubah dalam waktu dekat. Konstitusi tidak sama dengan
undang-undang yang dapat lebih mudah diubah. Karena itulah mekanisme
perubahan Undang-Undang Dasar memang sudah seharus¬nya tidak diubah
semudah mengubah undang-undang. Sudah tentu, tidak mudahnya mekanisme
perubahan un¬dang-undang dasar tidak boleh menyebabkan undang-undang
dasar itu menjadi terlalu kaku karena tidak dapat diubah. Konstitusi
juga tidak boleh disakralkan dari kemung¬kinan perubahan seperti yang
terjadi di masa Orde Baru.
Keberadaan Pancasila sebagai falsafah
kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai
filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di
antara sesama warga masyarakat dalam kon¬teks kehidupan bernegara dalam
kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat
Pancasila sebagai ideologi terbuka. Terminologi Pancasila sebagai
ideologi terbuka sesungguhnya telah dikembangkan pada masa orde baru.
Namun dalam pelaksanaannya pada masa itu lebih menunjukkan Pancasila
sebagai ideologi tertutup. Pancasila menjadi alat hegemoni yang secara
apriori ditentukan oleh elit kekuasaan untuk mengekang kebebasan dan
melegitimasi kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat itu tidak hanya
mencakup cita-cita dan nilai dasar, tetapi juga meliputi kebijakan
praktis operasional yang tidak dapat dipertanyakan, tetapi harus
diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.
Konsekuensi Pancasila sebagai
ideologi terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat
bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan
tersebut adalah kesepakat kedua dan ketiga sebagai penyangga
konstitusionalisme, yaitu kesepakatan tentang the rule of law sebagai
landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of
government) dan Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan
prose¬dur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and
procedures). Kesepakatan-kesepakatan tersebut hanya mungkin dicapai jika
sistem yang dikembangkan adalah sistem demokrasi.
Pancasila sebagai
ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem
kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan
melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang
ekonomi maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui secara
selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang
dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi
liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem
kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan
kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam
sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga
negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara
lainnya.
Pancasila Pasca Amandemen UUD 1945
Perubahan UUD
1945 sebagai agenda utama era reformasi mulai dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999. Pada Sidang Tahunan MPR
1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan
UUD 1945, yaitu:
1. sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2. sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3.
sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian
sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem
presidensiil);
4. sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
5. sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan
UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu
agenda Sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada
Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya
Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif
tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002
tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama dilakukan
dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 yang arahnya adalah membatasi
kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) sebagai lembaga legislatif. Perubahan Kedua dilakukan dalam
sidang Tahunan MPR Tahun 2000 meliputi masalah wilayah negara dan
pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam
hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci
tentang HAM. Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR
Tahun 2001 meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara,
kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, dan
ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.
Perubahan keempat
dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Materi perubahan pada
Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan
hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung
(DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang
perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan
tambahan.
Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir
keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir
ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan
UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan. Namun sesuai dengan kesepakatan
MPR yang kemudian menjadi lampiran dari Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999,
Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah. Pembukaan UUD 1945 memuat
cita-cita bersama sebagai puncak abstraksi yang mencerminkan
kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang
dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kema¬jemukan.
Pembukaan UUD 1945 juga memuat tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang
biasa ju¬ga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita
negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common
platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam
kon¬teks kehidupan bernegara. Inilah yang oleh William G. Andrews
disebut sebagai Kesepakatan (consensus) pertama.
Pancasila sebagai
dasar-dasar filosofis terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan
kesepakatan pertama penyangga konstitu¬sionalisme. Dengan tidak
diubahnya Pembukaan UUD 1945, maka tidak berubah pula kedudukan
Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis bangunan Negara Republik
Indonesia. Yang berubah adalah sistem dan institusi untuk mewujudkan
cita-cita berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan makna
Pancasila sebagai ideologi terbuka yang hanya dapat dijalankan dalam
sistem yang demokratis dan bersentuhan dengan nilai-nilai dan
perkembangan masyarakat.
Pancasila Sebagai Materi Konstitusi
Telah
diuraikan bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia, Pancasila adalah
filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa.
Pancasila adalah dasar negara. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana
kedudukan Pancasila dalam tata hukum nasional?
Salah satu masalah
pada masa lalu yang mengakibatkan Pancasila cenderung digunakan sebagai
alat legitimasi kekuasaan dan lebih menjadi ideologi tertutup adalah
karena adanya pendapat bahwa Pancasila berada di atas dan diluar
konstitusi. Pancasila disebut sebagai norma fundamental negara
(Staatsfundamentalnorm) dengan menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans
Nawiasky.
Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah
hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum
(stufentheorie) . Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut
adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut
dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut
teori tersebut adalah:
1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3. Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
Staatsfundamentalnorm
adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau
Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum
dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya
suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari
konstitusi suatu negara.
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh
Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara
sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan
Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada
dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya
dengan cara kudeta atau revolusi.
Berdasarkan teori Nawiaky
tersebut, A. Hamid S. Attamimi memban¬dingkannya dengan teori Kelsen dan
menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi
menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan
teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum
Indonesia adalah:
1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3) Formell gesetz: Undang-Undang.
4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Penempatan
Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh
Notonagoro . Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan
bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif
adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan
untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai
Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan
pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.
Namun,
dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamentalnorm berarti
menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila
tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas
konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan
melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan
pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara
Pancasila dan UUD 1945.
Kelsen membahas validitas norma-norma hukum
dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung
pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid,
mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa
konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau
semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi
terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata
aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama
adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam
kondisi dipresuposisikan sebagai valid . Presuposisi inilah yang disebut
dengan istilah trancendental-logical pressuposition.
Semua norma
hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya
dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi
pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat
adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut
adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.
Kalimat terakhir
jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu norma dasar adalah presuposisi
atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam
prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena
dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan
valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada
tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma
pembuat hukum.
Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah
dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi,
manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang
selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara
staatsfundamental-norm dengan staatsgrundgesetz atau grundnorm dengan
alasan bahwa grundnorm pada dasarnya tidak berubah sedangkan
staatsfundamen¬talnorm dapat berubah seperti melalui kudeta atau
revolusi.
Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan dengan
pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi memang dibuat
sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma
hukum biasa. Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata hukum
kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau
revolusi yang efektif. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum
selain dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta
atau revolusi menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas konstitusi
pertama dan digantikan dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang
berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun dengan materi yang sama
dengan tata hukum lama .
Berdasarkan uraian antara pandangan Kelsen
dan Nawiasky tersebut dapat disimpulkan bahwa staats-fundamentalnorm
yang dikemukakan oleh nawiasky adalah presuposisi validitas konstitusi
pertama yang dikemukakan oleh Kelsen sebagai norma dasar. Sedangkan
staats-grundgesetz-nya Nawiasky adalah konstitusi dalam pandangan
Kelsen. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Pancasila merupakan
staatsfundamentalnorm atau me-rupakan bagian dari konstitusi?
Pancasila
lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara,
khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut
dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat,
pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan
negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah
Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau
lima asas.
Pidato yang dikemukakan Soekarno pada saat itu adalah
rangkaian persidangan BPUPKI yang membahas dasar negara. Selain
Soekarno, anggota-anggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik
secara lisan maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan
dalam persidangan tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri
dari 8 orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M.
Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki
Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasjim. Tim ini menghasilkan
rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh
BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945. Dokumen inilah yang menjadi Pembukaan
UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata.
Walaupun pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan dokumen ini,
namun dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya
merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini
disamping memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno, juga
memuat pokok-pokok pikiran yang lain.
Jika masalah dasar negara
disebutkan oleh Soekarno sebagai Philosofische grondslag ataupun
Weltanschauung, maka hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu
Piagam Jakarta yang selanjutnya menjadi dan disebut dengan Pembukaan UUD
1945, yang merupakan Philosofische grondslag dan Weltanschauung bangsa
Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD
1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.
Selain
Pancasila, telah banyak dikenal adanya empat pokok pikiran Pembukaan
UUD 1945, yaitu; (1) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang
melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan dan paham
perseorangan; (2) bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh warganya; (3) bahwa Negara Indonesia menganut paham
kedaulatan rakyat. Negara dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan
kedaulatan rakyat; dan (4) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Jika mencermati Pembukaan UUD 1945, masing-masing alenia
mengandung pula cita-cita luhur dan filosofis yang harus menjiwai
keseluruhan sistem berpikir materi Undang-Undang Dasar. Alenia pertama
menegaskan keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak asasi
segala bangsa, dan karena itu segala bentuk penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri
keadilan. Alenia kedua menggambarkan proses perjuangan bangsa Indonesia
yang panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya berhasil mengantarkan
bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alenia ketiga menegaskan pengakuan
bangsa Indonesia akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang
memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk memperjuangkan
perwujudan cita-cita luhurnya sehingga rakyat Indonesia menyatakan
kemerdekaannya. Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa
Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan
diselenggarakan dalam rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa
untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara
Indonesia. Dalam alenia keempat inilah disebutkan tujuan negara dan
dasar negara.
Keseluruhan Pembukaan UUD 1945 yang berisi latar
belakang kemerdekaan, pandangan hidup, tujuan negara, dan dasar negara
dalam bentuk pokok-pokok pikiran sebagaimana telah diuraikan
tersebut-lah yang dalam bahasa Soekarno disebut sebagai Philosofische
grondslag atau dasar negara secara umum. Jelas bahwa Pembukaan UUD 1945
sebagai ideologi bangsa tidak hanya berisi Pancasila. Dalam ilmu
politik, Pembukaan UUD 1945 tersebut dapat disebut sebagai ideologi
bangsa Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Pembukaan UUD 1945
merupakan staatsfundamentalnorm di Indonesia? Jika merupakan
staats-fundamen¬talnorm maka Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian
terpisah dari pasal-pasal dalam UUD 1945 karena sebagai
staatsfundamentalnorm Pembukaan UUD 1945 merupakan norma yang merupakan
dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar
(staatsverfassung), atau dalam bahasa Kelsen Pembukaan UUD 1945 adalah
yang mempresuposisikan validitas UUD 1945.
Penjelasan UUD 1945 yang
merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa “Pokok-pokok
pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum
(rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis
(Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang
Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya”. Bahkan
para founding fathers juga menyadari akan perkembangan masyarakat
sehingga tidak tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk
(Gelstaltung). Penjelasan ini sebenarnya memberi ruang perubahan
terhadap perwujudan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, terlihat bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan
kesatuan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari
proses penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan dengan
pembahasan masalah lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu
masalah bentuk negara, daerah negara, badan perwakilan rakyat, dan badan
penasehat . Status Pembukaan UUD 1945 sebagai satu kesatuan dengan
pasal-pasalnya menjadi sangat tegas berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan
UUD 1945 yang berbunyi: “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang
Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.”
Jika Pembukaan UUD 1945 dan
pasal-pasalnya merupakan satu kesatuan, tentu tidak dapat memisahkannya
dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorms
yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya sebagai staatsverfassung. Apalagi
dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah dasar pembentukan
pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi, atau Pembukaan UUD 1945 adalah
presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945. Pembukaan UUD 1945
(termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi
tertulis bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan
pokok-pokok pikiran yang abstraksinya tinggi dan dijabarkan dalam
pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar keberlakuan pasal-pasal UUD
1945 dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal tersebut.
Pembukaan UUD 1945 bukan sekedar sebuah postulat dari
juristic-thinking. UUD 1945 secara keseluruhan ditetapkan sebagai
konstitusi (staatsverfassung) yang mengikat dalam satu tindakan hukum,
yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Penempatan Pembukaan
UUD 1945 sebagai bagian dari Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai
norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai standar valuasi
konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga dapat
digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan
posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi, maka
pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila,
benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum
Indonesia.
Jika Pancasila bukan merupakan staatsfundamental-norms,
lalu apa yang menjadi dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi? Apa
yang mempresuposisikan validitas UUD 1945? Proklamasi 17 Agustus 1945.
Proklamasi menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan merupakan
tindakan hukum karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai
dengan prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai
berdirinya Negara Republik Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu
tata hukum baru (New Legal Order). Adanya Negara Indonesia setelah
diproklamasikan adalah postulat berpikir yuridis (juristic thinking)
sebagai dasar keberlakuan UUD 1945 menjadi konstitusi Negara Indonesia.
Keberadaan Negara Indonesia yang merdeka adalah presuposisi validitas
tata hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 sekaligus meniadakan tata
hukum lama sebagai sebuah sistem.
Peran Mahkamah Konstitusi
Hans
Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang
legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain
badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum
itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut
organ ini produk hukum tersebut tidak konstitusional. Untuk itu dapat
diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah
konstitusi (constitutional court), atau kontrol terhadap
konstitusionalitas undang-undang (judicial review) diberikan kepada
pengadilan biasa, khususnya mahkamah agung. Organ khusus yang mengontrol
tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak
konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain.
Sedangkan jika sebuah pengadilan biasa memiliki kompetensi menguji
konstitusionalitas undang-undang, mungkin hanya dalam bentuk menolak
untuk menerapkannya dalam kasus konkret ketika menyatakan bahwa
undang-undang tersebut tidak konstitusional sedangkan organ lain tetap
diwajibkan menerapkannya.
George Jellinek pada akhir abad ke-19
mengembangkan gagasan agar kewenangan judicial review tersebut
diterapkan di Austria, seperti yang telah diterapkan oleh John Marshal
di Amerika. Pada tahun 1867, Mahkamah Agung Austria mendapatkan
kewenangan menangani sengketa yuridis terkait dengan perlindungan
hak-hak politik berhadapan dengan pemerintah. Pemikiran Kelsen yang
telah diungkapkan di atas, mendorong dibentuknya suatu lembaga yang
diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi
(Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung,
sehingga model ini sering disebut sebagai “The Kelsenian Model ”.
Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga
pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919 – 1920 dan
diterima dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama
di dunia. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi
konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan
prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the
Parliament). Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik terhadap
norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review) dan juga
memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete review).
Pengujian biasanya dilakukan secara a posteriori, meskipun tidak menutup
kemungkinan dilakukan pengujian a priori.
Walaupun demikian,
keberadaan lembaga Mahkamah konstitusi secara umum merupakan fenomena
baru dalam dunia ketatanegaraan. Hingga saat ini baru terdapat 78 negara
yang membentuk mahkamah ini secara tersendiri. Negara-negara ini pada
umumnya adalah negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian
menjadi negara demokrasi.
Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi merupakan
produk dari perubahan keempat UUD 1945. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945
menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”. Hal ini berarti cabang kekuasaan kehakiman merupakan satu
kesatuan sistem yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi yang mencerminkan puncak kedaulatan hukum Indonesia
berdasarkan UUD 1945 Agustus 2003. Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia kemudian diatur dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003.
Namun lembaga Mahkamah Konstitusi sendiri baru benar-benar terbentuk
pada tanggal 17 Agustus 2003 setelah pengucapan sumpah jabatan sembilan
hakim konstitusi pada tanggal 16 Agustus 2003.
Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk; (a) menguji undang-undang
terhadap UUD 1945; (b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; (c) memutus pembubaran partai
politik; dan (d) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain itu Mahkamah Konstitusi juga (e) wajib memberikan putusan atas
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Kewenangan pertama
Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai judicial review. Namun
istilah ini harus diluruskan dan diganti dengan istilah constitutional
review atau pengujian konstitusional mengingat bahwa kewenangan Mahkamah
Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Per
definisi, konsep constitutional review merupakan perkembangan gagasan
modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide
negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of
power), serta perlindungan hak asasi manusia (the protection of
fundamental rights). Dalam sistem constitutional review itu tercakup dua
tugas pokok, yaitu (a) menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam
hubungan peran atau interplay antara cabang kekuasaan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif; dan (b) melindungi setiap individu warga
negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan
hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.
Sedangkan
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain dapat dilihat sebagai upaya
penataan hubungan kelembagaan negara dan institusi-institusi demokrasi
berdasarkan prinsip supremasi hukum. Sebelum terbentuknya Mahkamah
Konstitusi dengan kewenangannya tersebut, hubungan kelembagaan negara
dan institusi demokrasi lebih didasarkan pada hubungan yang bersifat
politik. Akibatnya, sebuah lembaga dapat mendominasi atau mengkooptasi
lembaga lain, atau terjadi pertentangan antar lembaga atau institusi
yang melahirkan krisis konstitusional. Hal ini menimbulkan ketiadaan
kepastian hukum dan kotraproduktif terhadap pengembangan budaya
demokrasi. Pengaturan kehidupan politik kenegaraan secara umum juga
telah berkembang sebagai bentuk “the constitutionalization of democratic
politics”. Hal ini semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum,
kepastian hukum, dan perkembangan demokrasi itu sendiri, berdasarkan
konsep negara hukum yang demokratis (democratische reshtsstaat).
Kewenangan
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar merupakan
kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi (the guardian
of the constitution). Kewenangan ini dilaksanakan untuk menjaga
ketentuan undang-undang agar tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan atau
merugikan hak konstitusional warga negara. Batu ujian yang digunakan
tentu saja adalah UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan dan Pasal-pasal.
Yang dijadikan alat untuk menguji apakah suatu ketentuan undang-undang
melanggar hak konstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar tidak hanya Pasal-Pasal, melainkan juga cita-cita dan prinsip
dasar yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam pelaksanaan
kewenangan Mahkamah Konstitusi, berbagai permasalahan baru yang mendasar
senantiasa muncul dalam proses penataan kehidupan bernegara terkait
dengan dasar negara Pancasila dan perkembangan dunia yang didominasi
oleh ideologi kapitalisme. Permasalahan tersebut diantaranya adalah; (a)
hubungan ekonomi dengan wilayah hukum dan politik; (b) kerangka
institusional negara; (c) tujuan dan peran pemerintahan; (d) akibat dan
batasan intervensi negara dalam masyarakat; dan (e) masalah kedaulatan
negara berhadapan dengan perkembangan hukum internasional.
Putusan
pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang telah dibuat oleh
Mahkamah Konstitusi terhadap berbagai permohonan pengujian yang diajukan
juga selalu melihat secara utuh UUD 1945. Dalam putusan-putusan
tersebut memuat pengertian-pengertian dan konsep-konsep terkait dengan
pemahaman suatu ketentuan dalam konstitusi berdasarkan cita negara
(staatside)dan landasan filosofis (filosofische grondslag) bangsa
Indonesia. Hingga saat ini telah terdapat berbagai putusan Mahkamah
Konstitusi baik di bidang politik , ekonomi , dan sosial terkait dengan
ketentuan dalam UUD 1945 yang mengelaborasi nilai-nilai dasar Pancasila
sebagai batu ujian atas permohonan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar.
Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi
secara otomatis juga berarti sebagai penjaga Pancasila sebagai materi
konstitusi dan mempertahankannya sebagai ideologi terbuka. Mahkamah
Konstitusi mengelaborasi nilai-nilai dan prinsip dasar Pancasila untuk
menentukan apakah sesuatu ketentuan undang-undang bertentangan dengan
konstitusi atau tidak. Disamping itu, melalui pelaksanaan kewenangannya,
Mahkamah Konstitusi tetap menjaga Pancasila sebagai ideologi terbuka
dengan senantiasa mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai dalam
masyarakat dan masyarakat internasional sehingga tidak menjadi ideologi
tertutup yang dapat disalahgunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan
belaka. Hal ini juga dapat dilakukan dalam pelaksanaan kewenangan yang
lain terutama dalam hal sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran
partai politik, dan memutus usulan DPR untuk pemberhentian Presiden dan
atau Wakil Presiden.
Penutup
Cita-cita ideal bernegara
berlaku bagi segenap bangsa Indonesia tanpa membedakan antara laki-laki
dan perempuan. Hal ini merupakan kemajuan tersendiri bagi bangsa
Indonesia dibandingkan beberapa konstitusi negara lain, bahkan di
Amerika dan Perancis, yang semula hanya menyebutkan kata “man” sebagai
warga negara. Salah satu sila dari Pancasila adalah “Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab”. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu penyangga bangsa
Indonesia adalah prinsip kemanusiaan yang adil, yang dengan sendirinya
menentang diskriminasi baik berdasarkan ras, agama, keyakinan politik,
maupun gender.
Prinsip-prinsip dasar tersebut juga dapat dilihat dari
perumusan ketentuan UUD 1945 pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia.
Seluruh ketentuan masalah hak asasi manusia dalam UUD 1945 menyebutkan
“setiap orang” atau “setiap warga negara” yang menunjukkan tidak ada
pembedaan berdasarkan gender. Bahkan dalam Pasal 28I UUD 1945 disebutkan
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Walaupun telah ada
jaminan konstitusional, namun realitas menunjukkan bahwa diskriminasi
gender masih terjadi di masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari
stereotype dan budaya patriakhi yang dominan tidak hanya di Indonesia,
tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan pada saat negara-negara kawasan
Asia dan Amerika Latin sudah banyak yang pernah dipimpin oleh perempuan,
negara Eropa masih jarang, bahkan di Amerika belum pernah sama sekali.
Berhadapan
dengan realitas masih adanya diskriminasi atas perempuan baik secara
kultural maupun struktural, adalah suatu ketidakadilan jika sekedar
memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki untuk
berperan dalam berbagai bidang kehidupan. Perempuan jelas akan tetap
tertinggal karena kemampuan dan dukungan sosial yang diperoleh kalah
dibandingkan dengan laki-laki yang sejak awal memang dominan.
Karena
itulah adalah sah dan memenuhi rasa keadilan jika terdapat kebijakan
yang berupaya mendorong peran perempuan dengan memberikan kuota khusus
(affirmative action). Hal ini secara konstitusional dijamin dalam Pasal
28H ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Salah satu wujud
affirmative action ini adalah adanya persetujuan bersama antara DPR dan
pemerintah tentang kuota minimal 30 persen calon anggota legislatif,
baik tingkat pusat maupun daerah, yang diusulkan oleh partai-partai
politik peserta Pemilu 2004. Hanya saja disayangkan rumusan ketentuan
mengenai hal itu, yakni Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tersebut, tidak bersifat memaksa
(imperatif) karena menggunakan kata ”dapat”, bukan kata ”wajib” atau
”harus”. Akibatnya, para anggota lembaga legislatif, baik di tingkat
pusat maupun daerah, hasil Pemilu 2004 tidak memenuhi keterwakilan 30
persen adalah kaum perempuan.
Terlepas dari berbagai jaminan
persamaan hak dan kemudahan dan perlakuan khusus dalam UUD 1945, yang
menentukan diakui tidaknya kesejajaran perempuan dan laki-laki serta
berperan tidaknya perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, adalah kualitas manusianya. Kalaupun telah diberikan
perlakuan khusus dan kultur sosial sudah tidak bias gender, namun jika
tidak memiliki kualitas yang memadai, perempuan tidak akan dapat
memanfaatkan perlakuan khusus yang diberikan. Kebijakan tersebut juga
akan berujung sebagai penghias bibir semata.
Maka peningkatan
kualitas dan kemampuan perempuan harus menjadi agenda bangsa secara
keseluruhan, maupun partai-partai politik, di samping perjuangan secara
struktural dan kultural. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai proses
pendidikan dan pelatihan serta memperluas medan pengalaman dalam
aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Alder, John and Peter English. Constitutional and Administrative Law. London: MacMillan Education LTD, 1989.
Almond,
Gabriel A. and G. Bingham Powell Jr. Comparative Politics; A
Developmental Approach. Little, Brown and Company Inc., 1966.
Andrews, William G. Constitutions and Consti¬tu¬tio¬nalism. 3rd edition. New Jersey: Van Nostrand Company, 1968.
Asshiddiqie,
Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya di
Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
_______________. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
_______________. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Asshiddiqie,
Jimly dan Mustafa Fakhry. Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD,
UU dan Peraturan di 78 Negara. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
FH UI dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, 2002.
Attamimi, A.
Hamid A. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita
I–Pelita IV. Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia. Jakarta, 1990.
Bahar, Saafroedin Ananda B. Kusuma, dan
Nannie Hudawati (peny.). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) 28 Mei 1945–22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia, 1995.
Bogdanor, Ver¬non (ed). Blackwell’s Encyclopedia of Political Science. Oxford: Blackwell, 1987.
Bryce, J. Studies in History and Jurisprudence. vol.1. Oxford: Clarendon Press, 1901.
Friedrich, Carl J. Man and His Government. New York: McGraw-Hill, 1963.
_____________.
Constitutional Government And Democracy: Theory and Practice in Europe
and America. Fourth Edition. Massachussets-Toronto-London: Blaisdell
Publishing Company, 1967.
Hewitt, Martin. Welfare, Ideology and Need, Developing Perspectives on the Welfare State. Maryland: Harvester Wheatsheaf, 1992.
Jessop, Bob. State Theory. Cambridge: Polity Press, 1990.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. translated by: Anders Wedberg. New York: Russell & Russell, 1961.
___________.
Pure Theory Of Law. Translation from the Second (Revised and Enlarged)
German Edition. Translated by: Max Knight. Berkeley, Los Angeles,
London: University of California Press, 1967.
Kranenburg, R. dan Tk. B. Sabaroedin. Ilmu Negara Umum. Cetakan Kesebelas. Jakarta: Pradnya Paramita, 1989.
Kusuma,
RM. A.B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Lijphart,
Arend. Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in
Thirty-Six Countries. New Heaven and London: Yale University Press,
1999.
Magnis-Suseno, Franz. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Jakarta: Kanisius, 1992.
Mannheim,
Karl. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Judul
Asli: Ideology and Utopia, An Introduction to the Sociology of
Knowledge. Penerjemah: F. Budi Hardiman. Jakarta: Penerbit Kanisius,
1998.
Notonagoro. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Cetakan keempat. Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun.
Phillips, O. Hood. Constitutional and Administrative Law. 7th ed. London: Sweet and Maxwell, 1987.
Pildes, Richard H. “The Constitutionalization of Democratic Politics”. Harvard Law Review, Vol. 118:1, 2004.
Thompson, Brian. Textbook on Constitutional and Administrative Law. edisi ke-3. London: Blackstone Press Ltd., 1997.