Pengertian Partai Politik
Sebuah partai politik adalah organisasi
politik yang menjalani ideology tertentu atau dibentuk dengan tujuan
khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang
sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan
merebut kedudukan politik - (biasanya) dengan cara konstitusionil -
untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Partai politik adalah
sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai
kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal
finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung
kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut
menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.
Dalam
rangka memahami Partai Politik sebagai salah satu komponen Infra
Struktur Politik dalam negara, berikut beberapa pengertian mengenai
Partai Politik, yakni :
1. Carl J. Friedrich: Partai Politik
adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan
merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin
Partainya, dan berdasarkan penguasan ini memberikan kepada anggota
Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil.
2. R.H.
Soltou: Partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit
banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satukesatuan politik,
yang dengan memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai
pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka.
3. Sigmund
Neumann: Partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik
yang berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan
rakyat atas dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak
sepaham.
4. Miriam Budiardjo: Partai Politik adalah suatu kelompok
yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara
konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
5.
Sistem politik Indonesia telah menempatkan Partai Politik sebagai
pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tak ada demokrasi tanpa Partai
Politik. Karena begitu pentingnya peran Partai Politik, maka sudah
selayaknya jika diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan mengenai
Partai Politik. Peraturan perundang-undangan ini diharapkan mampu
menjamin pertumbuhan Partai Politik yang baik, sehat, efektif dan
fungsional.
6. Dengan kondisi Partai Politik yang sehat dan
fungsional, maka memungkinkan untuk melaksanakan rekrutmen pemimpin atau
proses pengkaderan, pendidikan politik dan kontrol sosial yang sehat.
Dengan Partai Politik pula, konflik dan konsensus dapat tercapai guna
mendewasakan masyarakat. Konflik yang tercipta tidak lantas dijadikan
alasan untuk memecah belah partai, tapi konflik yang timbul dicarikan
konsensus guna menciptakan partai yang sehat dan fungsional.
7.
Pentingnya keberadaan Partai Politik dalam menumbuhkan demokrasi harus
dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan. Seperti diketahui hanya
Partai Politik yang berhak mengajukan calon dalam Pemilihan Umum. Makna
dari ini semua adalah, bahwa proses politik dalam Pemilihan Umum
(Pemilu), jangan sampai mengebiri atau bahkan menghilangkan peran dan
eksistensi Partai Politik. Kalaupun saat ini masyarakat mempunyai
penilaian negatif terhadap Partai Politik, bukan berarti lantas
menghilangkan eksistensi partai dalam sistem ketatanegaraan. Semua yang
terjadi sekarang hanyalah bagian dari proses demokrasi.
8.
Menumbuhkan Partai Politik yang sehat dan fungsional memang bukan
perkara mudah. Diperlukan sebuah landasan yang kuat untuk menciptakan
Partai Politik yang benar-benar berfungsi sebagai alat artikulasi
masyarakat. Bagi Indonesia, pertumbuhan Partai Politik telah mengalami
pasang surut. Kehidupan Partai Politik baru dapat di lacak kembali mulai
tahun 1908. Pada tahap awal, organisasi yang tumbuh pada waktu itu
seperti Budi Oetomo belum bisa dikatakan sebagaimana pengertian Partai
Politik secara modern. Budi Utomo tidak diperuntukkan untuk merebut
kedudukan dalam negara (public office) di dalam persaingan melalui
Pemilihan Umum. Juga tidak dalam arti organisasi yang berusaha
mengendalikan proses politik. Budi Oetomo dalam tahun-tahun itu tidak
lebih dari suatu gerakan kultural, untuk meningkatkan kesadaran
orang-orang Jawa.
9. Sangat boleh jadi partai dalam arti modern
sebagai suatu organisasi massa yang berusaha untuk mempengaruhi proses
politik, merombak kebijaksanaan dan mendidik para pemimpin dan mengejar
penambahan anggota, baru lahir sejak didirikan Sarekat Islam pada tahun
1912. Sejak itulah partai dianggap menjadi wahana yang bisa dipakai
untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalis. Selang beberapa bulan, lahir
sebuah partai yang di dirikan Douwes Dekker guna menuntut kebebasan dari
Hindia Belanda. Dua partai inilah yang bisa dikatakan sebagai cikal
bakal semua Partai Politik dalam arti yang sebenarnya yang kemudian
berkembang di Indonesia.
10. Pada masa pergerakan nasional ini,
hampir semua partai tidak boleh berhubungan dengan pemerintah dan massa
di bawah (grass roots). Jadi yang di atas, yaitu jabatan puncak dalam
pemerintahan kolonial, tak terjangkau, ke bawah tak sampai. Tapi Partai
Politik menjadi penengah, perumus ide. Fungsi Partai Politik hanya
berkisar pada fungsi sosialisasi politik dan fungsi komunikasi politik.
11.
Pada masa pendudukan Jepang semua Partai Politik dibubarkan. Namun,
pada masa pendudukan Jepang juga membawa perubahan penting. Pada masa
Jepang-lah didirikan organisai-organisasi massa yang jauh menyentuh
akar-akar di masyarakat. Jepang mempelopori berdirinya organisasi massa
bernama Pusat Tenaga Rakyat (Poetera). Namun nasib organisasi ini pada
akhirnya juga ikut dibubarkan oleh Jepang karena dianggap telah
melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mempengaruhi proses politik.
Praktis sampai diproklamirkan kemerdekaan, masyarakat Indonesia tidak
mengenal partai-partai politik.
12. Perkembangan Partai Politik
kembali menunjukkan geliatnya tatkala pemerintah menganjurkan perlunya
di bentuk suatu Partai Politik. Wacana yang berkembang pada waktu itu
adalah perlunya partai tunggal. Partai tunggal diperlukan untuk
menghindari perpecahan antar kelompok, karena waktu itu suasana
masyarakat Indonesia masih diliputi semangat revolusioner. Tapi niat
membentuk partai tunggal yang rencananya dinamakan Partai Nasional
Indonesia gagal, karena dianggap dapat menyaingi Komite Nasional
Indonesia Pusat dan dianggap bisa merangsang perpecahan dan bukan
memupuk persatuan. Pasca pembatalan niat pembentukan partai tunggal,
atas desakan dan keputusan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat, pemerintah mengeluarkan maklumat yang isinya perlu di bentuk
Partai Politik sebanyak-banyaknya guna menyambut Pemilihan Umum anggota
Badan-Badan Perwakilan Rakyat.
13. Pada keadaan seperti itulah
Partai Politik tumbuh dan berkembang selama revolusi fisik dan mencapai
puncaknya pada tahun 1955 ketika diselenggarakan Pemilihan Umum pertama
yang diikuti oleh 36 Partai Politik, meski yang mendapatkan kursi di
parlemen hanya 27 partai. Pergolakan-pergolakan dalam Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Konstituante hasil Pemilihan Umum telah menyudutkan
posisi Partai Politik. Hampir semua tokoh, golongan mempermasalahkan
keberadaan Partai Politik. Kekalutan dan kegoncangan di dalam sidang
konstituante inilah yang pada akhirnya memaksa Bung Karno membubarkan
partai-partai politik, pada tahun 1960, dan hanya boleh tinggal 10
partai besar yang pada gilirannya harus mendapatkan restu dari Bung
Karno sebagai tanda lolos dari persaingan.
14. Memasuki periode Orde
Baru, tepatnya setelah Pemilihan Umum 1971 pemerintah kembali berusaha
menyederhanakan Partai Politik. Seperti pemerintahan sebelumnya,
banyaknya Partai Politik dianggap tidak menjamin adanya stabilitas
politik dan dianggap mengganggu program pembangunan. Usaha pemerintah
ini baru terealisasi pada tahun 1973, partai yang diperbolehkan tumbuh
hanya berjumlah tiga yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), GOLKAR
dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
15. Nampak sekali bahwa
partai-partai yang ada di Indonesia boleh dikatakan merupakan partai
yang dibentuk atas prakarsa negara. Pembentukan partai bukan atas dasar
kepentingan masing-masing anggota melainkan karena kepentingan negara.
Dengan kondisi partai seperti ini, sulit rasanya mengharapkan partai
menjadi wahana artikulasi kepentingan rakyat. Baru setelah reformasi,
pertumbuhan Partai Politik didasari atas kepentingan yang sama
masing-masing anggotanya. Boleh jadi, Era Reformasi yang melahirkan
sistem multi-partai ini sebagai titik awal pertumbuhan partai yang
didasari kepentingan dan orientasi politik yang sama di antara
anggotanya.
16. Kondisi yang demikian ini perlu dipertahankan,
karena Partai Politik adalah alat demokrasi untuk mengantarkan rakyat
menyampaikan artikulasi kepentingannya. Tidak ada demokrasi sejati tanpa
Partai Politik. Meski keberadaan Partai Politik saat ini dianggap
kurang baik, bukan berarti dalam sistem ketatanegaraan kita
menghilangkan peran dan eksistensi Partai Politik. Keadaan Partai
Politik seperti sekarang ini hanyalah bagian dari proses demokrasi.
17.
Dalam kondisi kepartaian yang seperti ini, Pemilihan Umum 2004 digelar
dengan bersandar kepada Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik. Dalam perjalanannya, undang-undang ini di anggap belum mampu
mengantarkan sistem kepartaian dan demokrasi perwakilan yang efektif dan
fungsional. Undang-undang ini juga belum mampu melahirkan Partai
Politik yang stabil dan akuntabel. Masyarakat juga masih belum percaya
pada keberadaan Partai Politik, padahal fungsi Partai Politik salah
satunya adalah sebagai alat artikulasi kepentingan rakyat. Untuk
menciptakan Partai Politik yang efektif dan fungsional diperlukan adanya
kepercayaan yang penuh dari rakyat. Tanpa dukungan dan kepercayaan
rakyat, Partai Politik akan terus dianggap sebagai pembawa
ketidakstabilan politik sehingga kurang berkah bagi kehidupan rakyat.
18.
Untuk menciptakan sistem politik yang memungkinkan rakyat menaruh
kepercayaaan, diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang mampu
menjadi landasan bagi tumbuhnya Partai Politik yang efektif dan
fungsional. Dengan kata lain, diperlukan perubahan terhadap peraturan
perundang-undangan yang mengatur sistem Politik Indonesia yakni
Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-undang
No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD,
Undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden, dan Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Setelah berhasil mengganti rejim
otoritarian Orde Baru dan menyelenggarakan Pilpres secara langsung pada
tahun 2004, banyak pengamat di dalam maupun di luar negeri yang
memandang bahwa Indonesia telah mengakhiri periode transisi dan masuk ke
periode sistem politik yang demokratis dan stabil. Tetapi kendatipun
telah ada Pilpres langsung yang bercirikan konstelasi politik yang
berciri sistem multi-partai, pemerintahan yang terdesentralisasi, sistem
kawal dan imbang (checks and balances) yang makin baik, dan tuntutan
rakyat yang makin terbuka, transisi ke arah sistem pemerintahan yang
baik sebenarnya masih terus berlangsung. Dalam hal perumusan kebijakan
publik, banyak yang ternyata harus dibenahi. Berlakunya UU No.32/2004
yang disertai dengan PP No.6/2005 yang mengatur tentang Pilkada secara
langsung secara prosedural telah membuat sistem pemerintahan di daerah
semakin demokratis. Mulai tahun 2005 pergantian kepala daerah, baik
Gubernur atau Bupati/Walikota, di seluruh Indonesia telah dilakukan
secara langsung. Partai politik (parpol) berperan dalam pencalonan
pasangan kepala daerah, lalu rakyat setempat secara langsung memilih
dengan prinsip-prinsip Pilkada yang sesuai dengan Pilpres. Peran Parpol
yang menguat inilah yang kemudian juga berpengaruh terhadap sistem
perumusan kebijakan di daerah. Bagi banyak pengamat semua variabel yang
menunjukkan sistem politik yang lebih terbuka merupakan kemajuan yang
signifikan. Namun, dari perspektif kebijakan publik gelombang
demokratisasi itu ternyata menjadi tantangan tersendiri yang tidak
pernah berlaku sebelumnya. Saat ini, situasi dalam pemerintahan lebih
sulit dalam menyelesaikan perselisihan tentang kebijakan yang akan
diambil. Tidak seperti pada masa Orde Baru yang begitu cepat keputusan
diambil karena terbiasa dengan pendekatan kekuasaan, proses kebijakan
publik kini lebih terfragmentasi dan untuk sebagian terasa kurang
efektif. Kenyataan ini berlaku di tingkat nasional maupun di daerah.
Demokrasi akan menghasilkan sistem perumusan kebijakan yang lebih
partisipatif dan karena itu memberi legitimasi yang lebih kuat terhadap
kebijakan yang diambil. Tetapi proses demokrasi juga menuntut kesiapan
perumus kebijakan untuk melalui proses politik yang panjang, untuk
menggunakan keterampilan negosiasi, serta kesediaan melakukan kompromi
dengan semua pemangku kepentingan. Ini karena demokrasimengakibatkan
kecenderungan sistem interaksi yang terpencar (divergence) dan bukannya
terpusat (convergence) seperti yang dikatakan dalam studi Hill
(2005:105).
Konfigurasi politik di Indonesia kini telah dilengkapi
dengan semua ciri dasar bagi sebuah demokrasi. Pemilu yang bebas dan
adil, kebebasan berpendapat dan berserikat, hak untuk memilih, adanya
sumber informasi alternatif, hak bagi semua orang untuk menduduki
jabatan publik, serta kelembagaan yang memungkinkan rakyat bisa
mengontrol pemerintahan sebagai ciri-ciri demokrasi seperti dikemukakan
oleh Dahl (1971:3) telah berlaku di Indonesia. Namun sebagai negara yang
baru belajar berdemokrasi, banyak diantara perumus kebijakan strategis
yang sebenarnya belum siap untuk menerapkan inti demokrasi (substantive
democracy) karena sudah begitu lama terbiasa dengan sistem yang
otoritarian. Salah satu tantangan yang berat di Indonesia ialah
meyakinkan para perumus kebijakan agar tidak frustrasi dengan tatanan
yang
demokratis lalu mengungkit nostalgia masa lalu ketika semuanya
serba pasti dan dapat diduga. Proses perumusan kebijakan yang demokratis
memang memerlukan kerja keras untuk menciptakan sebuah konsensus,
tetapi itu bukan berarti bahwa solusinya adalah kembali ke cara-cara
yang tidak demokratis. Namun Sebagian besar parpol juga dinilai tidak
memiliki basis sosial yang jelas dan spesifik. Tak hanya itu, dari sisi
komitmen, parpol dipandang hanya bekerja menjelang pemilu dan "tidur
panjang" di antara dua pemilu sehingga tak terbangun format relasi yang
melembaga dengan konstituen. Ada pula problem institusionalisasi dan
representasi.
ADS HERE !!!